Jangan Biarkan Angin Menyapu Rezeki
SEORANG pimpinan pengelola
pertokoan di daerah Glodok Jakarta merasa heran karena banyak calon penyewa
bertanya: Berapa jumlah tangga yang ada, berapa tinggi pintu toko yang akan
disewakan, berapa lebarnya? Ternyata orang-orang Cina yang mau berdagang di sana
percaya nasib dan sial ditentukan pula oleh lebar dan tinggi pintu.
Pengalaman tersebut menyebabkan para pendiri bangunan
dituntut sedikit banyak harus memperhatikan hal-hal yang menjadi syarat yang
dituntut calon penyewa.
Membangun rumah menurut adat Cina ternyata cukup rumit.
Memilih bentuk kavling ada pedomannya. Bentuk trapesium, segitiga dan peti mayat
tida mungkin disentuh oleh golongan itu. Bentuk-bentuk tersebut dipercaya
membawa sial bagi keluarga yang akan menempatinya. Begitu pula kavling yang
terletak pada daerah ‘tusuk sate.’
Jika rumah yang dipilih sudah berbentuk bangunan permanen,
maka yang diperhatikan adalah pintu rumah tersebut persis berhadapan dengan
pintu di seberangnya. Kalau tepat berhadapan berarti akan terjadi permu-suhan
antara kedua keluarga itu, karena rebutan hoki.
Bentuk halaman juga dianggap sangat penting. Pagar hala-man
tidak boleh berbentuk V, karena akan mengundang penyakit masuk ke rumah itu.
Sebaiknya pagar lurus saja atau berbentuk V terbalik, yang dianggap ber-khasiat
menolak bala. Pintu pagar halaman pun tidak boleh dua buah, karena hoki yang
sudah masuk dari pintu yang satu akan keluar lagi dari pintu yang lain.
Kalau Anda perhatikan perumahan di Panakukang Mas, maka tidak
ada rumah yang lorong utamanya menembus dari depan langsung ke belakang. Pasti
lorong utama itu akan membelok dulu ke kiri atau ke kanan, atau ada penyekat di
antara lorong tersebut. Menurut kepercayaan yang banyak dianut orang Cina, dewa
angin yang membawa keberuntungan akan masuk lewat lorong utama. Bila tidak
menjumpai hambatan, ia akan terus ke belakang dan menghilang. Artinya
keberuntungan tidak mau menetap di rumah itu.
Tinggi pintu tidak boleh kurang dari dua meter, Lebarnya
tidak kurang dari 0,9 meter atau kalau mau lebih lebar harus di atas 1 meter.
Itu mungkin disebabkan bentuk badan sang hoki memang besar. Siapa tahu?
Orang-orang keturunan Hokian ingin jumlah jendela yang genap,
sedangkan mereka yag keturunan Khek ingin jjumlah yang ganjil. Perbedaan itu
disebaban oleh latar belakang kebudayaan mereka yang ber-beda. Ada yang percaya
ganjil itu selamat, ada pula yang yakin genap itu lambang kerukunan.
Mengenai jumlah anak tangga, sering membuat pusing kontraktor
pertokoan. Ada yang semula mendesain lima belas anak tangga untuk mengubungkan
setiap lantai. Ternyata jum-lah itu merupakan pantangan bagi sebagian calon
penye-wa. Mereka mempunyai keper-cayaan yang kuat tentang angka. Angka satu
berarti lahir, dua tumbuh, tiga tua, empat sakit dan angka lima sama dengan mati.
Lima belas adalah tiga kali lima.
Demikianlah kepercayaan yang dianut sebagian warga Cina dan
ternyata di kalangan masyarakat adat di Sulsel pun hal yang sama juga masih
dipegang teguh. Misalnya dalam membangun sebuah rumah sesuai adat Suku Makassar,
petuah seorang panrita balla sangat diperhatikan. Namun merekapun percaya bahwa
segalanya pada akhirnya ditentukan oleh Yang Maha Kuasa.
Yang jelas, pantangan-pantangan dan anjuran-anjuran dalam kepercayaan orang
Cina tidak akan Anda jumpai dalam ajaran para futurolog, seperti Peter Drucker,
tokoh manajemen yang termasyhur pada penghujung Abad 20. ***
No comments:
Post a Comment